Jumat, 04 Maret 2022

Kehidupanku di Eropa-nya Tiongkok

Why China?

    Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa sih saya memilih Tiongkok sebagai tempat menimba ilmu saat orang lain memilih USA dan Eropa sebagai negara tujuan studi mereka?

    Saya memilih Tiongkok sebagai negara tujuan studi bukanlah tanpa alasan. Saya lulusan sarjana Pendidikan Bahasa Mandarin di salah satu universitas negeri di Indonesia. Selama berkuliah, saya teringat akan petuah seorang dosen, “Kalian ini belajar bahasa asing, setidaknya pergilah ke negara yang menggunakan bahasa tersebut dan praktek langsung. Belajar dari sumbernya akan menambah wawasan yang tidak kalian dapatkan di sini.” Petuah itu membekas sekali di benak saya, dan sejak itu saya bertekad untuk berkuliah di Tiongkok. Saya mencari informasi mengenai Tiongkok dan kota-kotanya, universitas, jurusan, dan beasiswa untuk mahasiswa asing. Persiapan yang saya lakukan memakan waktu lebih kurang satu tahun, hingga akhirnya pada September 2018 saya resmi menjadi mahasiswa pascasarjana jurusan Teaching Chinese to Speakers of Other Languages di Tianjin University.

    Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Tianjin—kota tempat saya menimba ilmu— saya agak shock, karena suasana di Tianjin tidak seperti yang saya bayangkan. Banyak bangunan yang bernuansa Eropa, bahkan hingga saya sampai di kampus pun juga begitu. Berikut ini adalah foto salah satu tempat di Tianjin.


Minyuan Stadium


Akomodasi

    Sesampainya di kampus, saya diberitahu oleh orang Indonesia yang juga berkuliah di sana bahwa Tianjin University memiliki kampus di dua lokasi yang berbeda, yaitu Weijin Road Campus dan Peiyang Park Campus. Kebetulan jurusan saya berada di Weijin Road Campus, yang merupakan kampus utama Tianjin University. 


Peiyang Park Campus Tianjin University (sumber: www.tju.edu.cn)



Gerbang timur Weijin Road Campus Tianjin University

    Saya tinggal di dormitory No. 50, yang merupakan salah satu gedung asrama khusus untuk mahasiswa asing. Di Tianjin University—mungkin di sebagian besar universitas di Tiongkok— gedung asrama untuk mahasiswa asing dan mahasiswa lokal dipisah, karena dari segi biaya dan fasilitas yang berbeda. Dalam segi biaya, tidak seperti asrama mahasiswa lokal yang harga sewa per kamar dipukul rata, setiap gedung asrama mahasiswa asing memiliki harga yang berbeda-beda. Penempatannya diatur sedemikian rupa oleh pihak universitas tergantung sumber pembiayaan —apakah fully-funded atau self-funded— serta jenis beasiswa yang didapat. Dari segi fasilitas, di setiap kamar terdapat dua tempat tidur untuk double room type atau satu tempat tidur untuk single room type, kamar mandi pribadi, lemari, meja belajar, rak buku, air conditioner, pemanas ruangan dan TV. Selain itu, terdapat dapur umum di tiap-tiap lantai dan laundry room di lantai satu yang bisa digunakan oleh mahasiswa dengan membayar RMB 3 (RMB 1 = Rp 2.000,-) per 1x mencuci. Untuk biaya listrik, saya dan teman sekamar saya biasanya menghabiskan RMB 100/2 bulan, tergolong hemat karena kami jarang sekali menggunakan AC dan TV. Sedangkan air tidak dipungut biaya. Kondisi kamar bisa dilihat dari gambar berikut.


Kamar dan fasilitasnya

   Menurut saya, hidup di Tianjin cukup praktis. Lokasinya yang tidak jauh dari kota Beijing, tapi biaya hidup di sana tergolong murah. Hanya dengan RMB 15 —bisa kurang atau lebih, tergantung jenis makanan yang dibeli— sudah bisa membeli seporsi makanan yang mengenyangkan. Saya lebih sering memasak karena murah dan sesuai dengan selera saya, tapi terkadang saya membeli makanan di kantin halal ataupun di Lanzhou lamian (restoran mie Lanzhou) jika tidak sempat memasak. Alhasil, rutinitas memasak ini sangat membantu saya dalam segi keuangan, terlebih saya jarang berbelanja online. Bagaimana tidak, jika dalam 1 bulan saya sama sekali tidak membeli makanan di luar, saya hanya menghabiskan RMB 1,500. Namun jika saya sering makan di luar dan sesekali berbelanja online, dalam sebulan bisa menghabiskan RMB 2,000 bahkan RMB 3,000. Jadi, jika hanya mengandalkan uang beasiswa dan memiliki keinginan—liburan atau membeli gadget baru— lebih baik memangkas biaya-biaya yang tidak penting.

 

Kegiatan belajar-mengajar

   Jurusan yang saya ambil terdiri dari dua kelas, yaitu kelas mahasiswa asing dan mahasiswa lokal. Mata kuliah yang diambil sama, hanya saja penyampaian materi kepada mahasiswa asing berbeda dengan mahasiswa lokal. Lagipula, jumlah mahasiswa yang menumpuk dirasa kurang efektif dalam pembelajaran. Jumlah mahasiswa asing saja ada 37 orang, belum lagi ditambah mahasiswa lokal.

   Ada perbedaan ketika menempuh pendidikan di jenjang S1 dan S2. Jika di jenjang S1 dosen lebih banyak menyampaikan materi, lain halnya dengan perkuliahan di jenjang S2. Presentasi, diskusi kelompok, menulis laporan dan artikel adalah hal yang sering dijumpai. Tidak hanya itu, kami juga dituntut untuk membaca jurnal, mengikuti seminar serta melaporkan hasilnya pada akhir semester. Belum lagi, pertemuan rutin dengan grup bimbingan thesis. Jujur, awal mulanya saya merasa berat. Mau nangis? Tentu saja. Tapi setelah dipikir-pikir, menangis pun tidak ada gunanya, tugas tetap harus diselesaikan. Oleh karena itu, saya mulai giat dan membiasakan diri dengan ritme belajar mahasiswa di Tiongkok. Tidak lupa juga, saya dan teman sekelas saling mencurahkan kesulitan masing-masing dan mencari solusinya bersama. Lambat laun, saya terbiasa dengan pola belajar yang keras tapi tetap santai.


Teman sekelas yang saling menguatkan


Festival di Tianjin University

    Tianjin University sering sekali mengadakan acara dan festival di luar jam perkuliahan. Selain untuk mengenalkan budaya Tiongkok, mahasiswa asing juga diberi kesempatan untuk memperkenalkan budaya dari negara asalnya. Beberapa festival yang diadakan tiap tahunnya adalah mid-autumn festival, dragon boat festival, festival budaya, pesta malam tahun baru, festival olahraga, dan lain-lain.

    Pada mid autumn festival, atau biasa disebut perayaan kue bulan, pihak universitas mengadakan pertunjukan seni yang ditampilkan oleh para mahasiswa Tianjin University. Sebenarnya acara ini diperuntukkan bagi kalangan mahasiswa, dosen dan civitas Tianjin University, tapi orang luar juga tidak dilarang untuk menghadirinya. Pada saat pertunjukan berlangsung, tersedia makanan ringan dan kue bulan yang menjadi ciri khas perayaan ini. Siapapun boleh mengambilnya, jumlahnya juga tidak dibatasi. Karena saya suka makan, jadi saya hanya datang untuk mengambil cemilan dan kue bulan lalu kembali ke kamar, dan saya tidak dimarahi. Hehehe.

   Perayaan lainnya yaitu festival budaya. Bagi kampus yang memiliki mahasiswa asing yang jumlahnya sepertiga atau lebih, pasti akan menyelenggarakan festival budaya. Waktu pelaksanaannya tergantung kampus masing-masing, namun di Tianjin University biasanya diselenggarakan pada bulan Mei. Perayaan ini menjadi ajang bagi mahasiswa asing untuk memamerkan keindahan dan budaya negara mereka. Untuk dapat berpartisipasi, mahasiswa dari perwakilan negara bersangkutan terlebih dahulu mendaftar di School of International Education, baik untuk mendapatkan booth maupun menjadi pengisi acara. Oh iya, walaupun kegiatan ini menjadi wadah bagi masing-masing perwakilan negara untuk mengenalkan budayanya, tapi mahasiswa Tiongkok juga diberi kesempatan yang sama. Mereka juga diperbolehkan untuk membuka booth dan mengisi acara. Di acara ini, saya dan mahasiswa Indonesia lainnya menampilkan tarian dari suku Papua yang diiringi dengan alat musik angklung dan gendang. Percayalah, beberapa teman tidak pernah belajar menari sebelumnya. Namun, keinginan kami yang kuat untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia luar yang membuat kami rela untuk latihan dan tampil sebaik mungkin.




Festival budaya di Tianjin University



Beres-beres booth Indonesia

Refreshing

   Seperti yang saya sampaikan pada poin sebelumnya, saya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan ritme belajar di Tiongkok. Walaupun begitu, saya tidak menggunakan 24 jam waktu saya hanya untuk belajar. Ingat, giat belajar itu harus. Tapi kita juga harus meluangkan waktu untuk menunaikan hak tubuh dan mental kita. Saya juga melakukan hobi saya dan bermain bersama teman-teman. Karena saya suka memotret, saya terkadang menghabiskan waktu untuk memotret teman saya. Untungnya, teman saya rela menjadi objek foto saya.


Memotret teman di taman kampus

  Tidak hanya itu, saya juga sesekali memasak bersama teman sekelas. Kami makan bersama dan secara tak langsung memperkenalkan makanan khas negara masing-masing.

Masak bersama


    Selama saya tinggal di Tianjin, saya banyak menemukan hal baru. Tianjin, selain tempat belajar juga merupakan rumah kedua bagi saya. Suka dan duka saya alami di sana, yang membantu saya untuk berproses menjadi manusia yang lebih baik lagi. Sekian cerita dari saya. Mungkin tidak banyak yang saya tuliskan, tapi semoga bisa membantu para pembaca sekalian menemukan insight baru, khususnya mengenai studi di Tiongkok. Terima kasih sudah membaca sampai akhir.













Sabtu, 04 September 2021

Gara-Gara Sedekah

            Pertengahan tahun 2019, aku bersama temanku berlibur ke Thailand. Saat itu, liburan musim panas tiba dan kami memiliki jatah libur yang cukup lama untuk liburan dan pulang ke tanah air. Sebelum penghujung semester, kami sudah berunding mengenai rencana liburan kali ini, mulai dari destinasi hingga budgeting. Di sela-sela kesibukan, kami berbagi tugas. Ada yang mengecek harga tiket pesawat, reservasi hotel, membuat rencana perjalanan bahkan menukar mata uang. Kebetulan aku bertugas untuk menukar uang. Karena posisi kami yang sedang berkuliah di Tiongkok dan sulit sekali menemukan money changer, aku pun pergi ke bank untuk menukar uang dengan membawa paspor dan sejumlah mata uang Tiongkok. Saat itu, yang terpikir di otakku hanyalah bisa liburan seperti orang-orang pada umumnya.

Hari yang ditunggu pun tiba, kami sampai di Bangkok dengan selamat. Seperti  biasa, setelah keluar dari pemeriksaan imigrasi di bandara, kami menghubungi taksi online dan menuju ke penginapan yang sudah kami pesan. Tidak ada yang spesial dengan liburan pada umumnya, kami menuju penginapan dan berisitirahat sebentar, lalu mencari makan. Tidak ada bedanya dengan yang biasa dilakukan orang-orang ketika liburan. Saat itulah aku menghubungi seorang kenalan, karena aku sudah berjanji pada beliau untuk memberi tahu jika aku berkunjung ke Thailand.

Kenalanku ini adalah seorang lelaki muslim paruh baya yang pernah aku jumpai saat berlibur di Hongkong. Kami mulai saling kenal saat beliau dan rekan kerjanya menyapa kami terlebih dahulu dengan mengucapkan salam, dan aku membalas salamnya yang diiringi dengan senyuman ramah. Memang benar, senyuman dapat mencairkan suasana. Ketika berada di Hongkong, aku dan kenalan baruku ini berbincang seperti sudah pernah bertemu sebelumnya. Hingga saat kami akan berpisah, kami pun bertukar kontak dan beliau memintaku untuk memberitahunya jika aku berkunjung ke Thailand. Sebenarnya aku tak menganggap hal ini istimewa, karena itu adalah salah satu bentuk kesopanan, jadi kuanggap itu hanyalah basa-basi.

Setelah tiga hari berlibur di Thailand, kenalanku yang bernama Pak Shafie ini memberitahu bahwa beliau sudah bisa menemani kami jalan-jalan. Lalu keesokan harinya, beliau datang ke penginapan kami dan membawa kami ke berbagai tempat di Bangkok, hingga suatu ketika beliau bertanya apakah kami sudah ke Pattaya. Kami menjawab hanya liburan di Bangkok saja. Mendengar hal itu, Pak Shafie mengajak kami ke Pattaya dan beliau yang menjadi pemandu kami. Bahkan ongkos perjalanan kami bertiga serta tiket masuk tempat wisata ditanggung oleh beliau. Ya Allah, nikmat manalagi yang mahasiswa kere ini dustakan.

Malam pun tiba, dan kami pun kembali lagi ke Bangkok. Sebelum berpisah, kami diajak makan di sebuah rumah makan berlogo halal. Sebenarnya kami sudah merasa tidak enak, biaya perjalanan sudah ditanggung dan kami ditraktir lagi makan malam. Aku yang mengenal Pak Shafie langsung mengutarakan rasa sungkan kami. Awalnya beliau bilang tidak apa-apa, tapi kami tetap saja bersikeras akan membayar makan malam kali ini. Lalu beliau pun menawarkan solusi, jika harga total makanan yang dipesan kurang dari 500 Baht (sekitar Rp 230.000,-), kami yang membayar. Tapi jika melebihi 500 Baht, Pak Shafie yang membayar. Kami menyetujuinya dan memesan makanan. Setelah selesai makan, kami meminta bill dan harganya pas 500 Baht. Sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan, dan sesuai perjanjian maka kami yang membayar makanan tersebut. Setelah itu, kami tidak langsung beranjak pergi, tapi masih duduk mengobrol sebentar di rumah makan itu. Pak Shafie memberitahu kami, dia menawarkan solusi seperti tadi agar kami bertiga punya kesempatan untuk bersedekah. Beliau merasa tidak adil jika hanya beliau yang mendapat pahala sedekah. Oleh karena itu, Pak Shafie membiarkan kami yang membayar makanan sebagai bentuk berbagi ladang pahala kepada kami. Masya Allah, selama ini yang aku pikirkan hanyalah semakin banyak kita banyak bersedekah, maka pahala sedekah yang akan kita dapatkan pun semakin banyak. Namun, terkadang kita lupa bahwa memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperoleh pahala sedekah juga sama baiknya dengan bersedekah.

Saat itu, aku juga teringat akan pertemuanku dan Pak Shafie di Hongkong. Andai saja waktu itu beliau tidak mengucapkan salam padaku, atau aku tidak menyambut salamnya dengan ramah, mungkin aku tidak akan pernah mendapat pelajaran berharga seperti ini. Sejak perjalanan itu, aku tidak akan pernah lupa untuk selalu tersenyum dengan ramah dan ikhlas kepada orang lain, serta memberikan kesempatan jika ada orang lain yang mau bersedekah ke kita dengan cara tidak bersikeras menolak pemberiannya. Sedekah tidak melulu soal harta, menyenangkan hati orang lain dan memudahkan orang lain dalam berbuat kebaikan juga termasuk sedekah, asal dilakukan dengan ikhlas. Mulai dari sekarang, cobalah untuk tersenyum kepada orang yang ditemui, niscaya kita juga akan menemukan kedamaian hati karena orang senang melihat senyuman kita.

Sabtu, 11 Juni 2016

Asal-Usul Hadirnya Blog Ini

Nulis di blog? Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menulis di dunia virtual. Menurut saya, menulis di atas kertas lebih amazing daripada menatap layar komputer untuk mengeluarkan apa yang saya pikirkan. Sensasi menulis secara fisik maupun virtual pun terasa berbeda. Hah~ yang klasik memang selalu asik.

Tapi kenapa sekarang tulisan saya ini dapat dibaca melalui gadget? Apa sekarang saya sudah tidak kolot lagi? (waaa~ apa ini?)

Tidak. Saya masih tetap kolot seperti biasa (mungkin lebih tepat jika dibilang "gaptek"). Hanya saja saya merasa sungguh disayangkan apabila yang saya lihat, dengar maupun rasakan tidak dapat tersampaikan. Update di sosial media, takutnya dibilang alay. Cerita ke teman, mungkin mereka bosan mendengar cerita saya. Menulis di kertas, hanya akan menambah sampah di kamar saya. Selain itu, menulis di buku juga menambah pemakaian kertas yang berdampak pada eksploitasi hutan secara besar-besaran. Kasian hutan kita, mereka juga butuh kehidupan *yaelah*. Maka dari itu, saya memberanikan (?) diri untuk menulis di blog. Fyi, ini merupakan blog kedua saya, karena blog pertama saya sudah penuh sarang laba-laba dan bahkan saya lupa passwordnya.

Semoga dengan adanya blog ini saya bisa istiqomah dalam dunia kepenulisan. Jika ada hal yang kurang berkenan, mohon dimaafkan. Saya hanya seorang manusia dan newbie dalam dunia blogging. By the way, happy fasting and happy weekend~ *bow